Selasa, 02 Oktober 2012

Fenomena Konsep Pendidikan Sebuah Pengalaman Nyata



(Repost)
Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”

“Dari Indonesia,” jawab saya.

Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. KITA TIDAK DAPAT MENGUKUR PRESTASI ORANG LAIN MENURUT UKURAN KITA.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

***

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan ENCOURAGEMENT, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

SEKOLAH yang membuat kita TIDAK NYAMAN mungkin telah membuat kita MENJADI LEBIH DISIPLIN. Namun di lain pihak dia juga bisa MEMATIKAN INISIATIF dan MENGENDURKAN SEMANGAT. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Kamis, 08 September 2011

Infeksi Adiposit dan Korelasinya pada Patomekanisme Adiposopati


Sindroma metabolik merupakan kumpulan beberapa faktor resiko seperti hipertensi, dislipidemia, gangguan toleransi glukosa dan obesitas. Sindroma ini memiliki hubungan dengan mekanisme patologis penyakit kardiovaskuler. Obesitas yang menjadi faktor resiko sindroma metabolik pada umumnya obesitas abdominal atau obesitas viseral. Prevalensi obesitas di seluruh dunia dan hubungannya dengan kelompok penyakit metabolik meningkat dengan cepat. Di Amerika Serikat 65,7% dewasa dan 16% anak-anak mengalami overweight (Tuncman, et al., 2006; http://www.americanheart.org). Angka obesitas terus meningkat dari tahun ke tahun. Laporan WHO tahun 2003 menyebutkan, di dunia lebih dari 300 juta orang dewasa menderita obesitas. Di Amerika 280.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat obesitas karena menjadi pemicu penyakit-penyakit seperti jantung, artritis, DM tipe 2 serta tekanan darah tinggi (Rajala, et al., 2003).
Sampai saat ini peranan jaringan adiposa pada penyakit infeksi masih belum jelas diketahui. Pada beberapa kasus selain sebagai target dari parasit intraseluler seperti pada Chagas Disease akibat infeksi Trypanosoma cruzi, disfungsi metabolisme lemak akibat toxoplasmosis, serta infeksi oleh viral dengan lama paparan dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan inisiasi proses hiperplasi dan hiperproliferasi dari adiposit. Akan tetapi bagaimanakah perubahan kualitas dari adiposit pada jaringan adiposa setelah paparan patogen tersebut masih sangat minim diketahui. Di sisi lain, prevalensi penyakit infeksi di negara berkembang masih tinggi dan disebutkan terdapat hubungan antara infeksi dengan obesitas (Desruisseaux, et al., 2007).
Toxoplasma gondii merupakan parasit patogen intraseluler yang memiliki kemampuan untuk menginfeksi semua sel berinti mamalia (Olgica D and Vladimir M, 2001). T gondii memiliki molekul profilin yang berhubungan dengan infeksi pada sel host melalui aktivasi TLRs. Profilin merupakan molekul protein dengan berat molekul sedang yang teridentifikasi terdapat pada membran T. gondii. Infeksi T. gondii berhubungan dengan interfensi pada lipid resources sel host (Audra J. Charron and L. David Sibley, 2002); menyebabkan cachexia, meningkatkan trigliserid sirkulasi, menurunkan aktivitas LPL dan massa lemak (Frederic, et al., 2002), meningkatkan ekspresi IL-12 dan MyD88 yang menjadi adapter protein untuk signaling TLR-11 pada jalur NF-kB (Yarovinsky, F. et al., 2005; Fanny, et al., 2005); menurunkan aktivitas DGK (Diacylgliserol kinase) dan akan menstimulasi signaling jalur TLR dengan penghambatan jalur PI3K (Cheng, et al., 2007).

Selasa, 23 Agustus 2011

Diabetic Wound Healing in Biomolecular Perspective


THE COMPARATION ROLE OF PROANGIOGENIC GROWTH FACTOR AND CYTOKINE IN NORMAL AND DIABETIC ULCER WOUND HEALING

Adeodatus Yuda Handaya1), Hendra Susanto2)
1) General and Laparoscopic Surgeon RSUD Kepanjen Malang
2) Animal Physiology Laboratory Biology Departement Mathematic and Science Faculty State University of Malang

hendrafaal@yahoo.com


ABSTRAK

Diabetic ulcer is major health problem for diabetic patient. Amputation of lower extremity is the main complication in diabetic ulcer. Fifteen percent of diabetic ulcer patient has amputation risk during their life. Diabetic ulcer is remain become a part of general diabetic complication and also inisiator on the non traumatic lower extremity leg amputation in every country in the world. Neuropathy, decreasing of blood circulation sustainbility to the infection is three important point that have a role to the development of diabetic ulcer and delayed revascularization in diabetic case. Wound healing is  a process that consist of coagulation phase, inflammation, cells proliferation, matrix repaired, epithelialization and remodelling on wound tissue. All of this phase are categorized from cellular component activity, like fibroblast, miofibroblast, visceral muscle cells, endothelial cells, keratinocyte and immune cells, specific cytokine and growth the wound site. Decreasing of the role of growth factor and cytokine inhibit vasculogenesis and causing the delayed wound healing process in diabetic patient. A number of molecular target within cells that become a potent factor to succesing wound healing process included immunomodulator, neuropeptide, growth factor and other molecular agent. In the diabetic ulcer wound healing process , the major problem is delayed angiogenesis in the wound site and make the wound are progress to the chronic diabetic ulcers. This fact is caused by decreasing of growth factor and cytokine expression that contribute in this process. The important process on wound healing are majorly regulated by growth factor such as platelet-derived growth factor (PDGF), insulin-like growth factor-1 (IGF-1), epidermal growth factor (EGF), fibroblast growth factor (FGF), and transforming growth factor-beta (TGF-beta). In other hand role of proinflammatory cytokine (TNF-α, IL-1, IL-2. IL-6, IL-8) and anti-inflammatory cytokine (IL-4, IL-10) is dominant in the wound healing rate. Systemic effect in diabetic case is generally caused by cells dysfunction that stimulate wound healing destruction. This event are important to knowing molecular comparation of between normal and diabetic ulcer wound healing as the first step to developing therapy on clinic. A various diabetic ulcer management should be directed to molecular therapy on every stage of wound healing to prevent delayed healing in diabetic wound site and decreasing the amputation case in diabetic patient.

Key Word : Diabetic ulcer, Wound healing, Growth Factor, Cytokine, Angiogenesis

Potret Pendidikan Kita, Sudah Pendidikan Kita Benar-Benar Berkarakter


Saya Farward saja, ini keluh kesah teman saya seorang ibu tentang anaknya di Sekolah SD di Indonesia, sebelumnya TK dan 2 tahun setingakat SD di Belanda yang kemudian lanjut di Indonesia. mudah-mudahan bermanfaat untuk membawa perubahan sistem pendidikan ke arah yang le...bih baik. Mau dibawa kemana sistem pendidikan dasar kita di Indonesia????? by Adian Khoironi on Wednesday, October 27, 2010 at 6:22am Dua hari yang lalu, malam menjelang tidur, tiba-tiba siadhel memberikan sebuah pengakuan, sambil matanya berkaca-kaca dan akhirnya tumpah menjadi tangisan : " Bundha..tadi adhel disekolah sudah bohong sama bu guru, waktu bu guru tanya "siapa yang tidak hafal ayat kursi???" adhel tidak angkat tangan, padahal adhel nggak hafal ayat kursi, adhel sudah bohong bundha...." menangislah dia sekencang-kencangnya...Lalu saya memeluknya hingga dia mulai tenang dan akhirnya saya bertanya " sayang, adhel inget, dulu di Belanda adhel tidak pernah berbohong sama Juf ( guru), dan adhel inget bagaimana Juf dan meester adhel bilang bahwa Bohong adalah sebuah Aib besar , knapa adhel sekarang jadi berbohong, apa alasan adhel bohong sayang??apa takut bu guru marah???" " Tidak bundha, adhel nggak takut bu guru marah, adhel cuma takut ditertawakan temen-temen, karena semua tidak angkat tangan, padahal adhel tahu kok temen adhel banyak yang nggak hafal, tapi mereka juga bohong"" Ya ..Allah...ironis sekali, anak sekecil itu sudah mulai berbohong, sesuatu yang merupakan hal dasar dari sifat dipercaya dan amanah, yang tidak hanya mereka pelajari disekolah tetapi juga di agama mereka. Aku jadi inget Romadhon lalu, ketika tetanggaku yang anaknya sekolah disebuah sekolah islam terkemu, bercerita, bahwa disekolah anaknya, banyak anak2 yang memalsukan tanda tangan guru kegiatan romadhon, hanya karena agar menjadi juara karena mendapat jumalah tanda tangan yang banyak... Saat mendengar cerita itu akupun terheran2, anak2 usia dasar, sudah punya ide untuk memalsukan sebuah tanda tangan, hanya untuk berlomba mendapat tanda tangan terbanyak??? Astagfirllahhaladzim....bagaimana kelak generasi bangsa kita????apakah mereka akan menjadi putra putri bangsa yang terbiasa dengan sebuah kebohongan, pemalsuan dan sejenisnya hanya untuk meraih apa yang mereka mau , dan hanya untuk sebuah alasan yang disebut malu dan takut?? Setelah setahun aku tinggal di Indonesia dan memperhatikan betul sistem pembelajaran diIndonesia, sebenarnya aku dan beberapa wali sering terlibat dalam diskusi , tentang sistem pembelajaran di Indonesia. Intinya..duh..kasihan sekali anak-anak kecil diIndonesia, yang dibebani dengan pelajaran yang super berat, hafalan yang super banyak, sungguh itu melelahkan mereka, kompetisi yang berat yang sengaja diciptakan hanya karena alasan prestasi dan takut tidak masuk sekolah lanjutan favorit kadang menjadi background untuk orang tua dan guru menggenjot anak-anak ini. Sistem seleksi yang cuma satu macam (UNAS), menyebabkan sistem pendidikan kita tidak memberikan kesempatan kepada anak untukmengeksplore keistimewaan dan talenta mereka masing-masing, semua anak harus dan wajib belajar pelajaran yang sama , dan harus melewati sistem seleksi dengan standart nilai yang sama juga. suatu contoh, anak yang pandai seni tapi lemah science, terpaksa mereka juga harus digenjot untuk belajar science, dan ketika science mereka nilainya rendah, gagallah dia masuk sekolah negri, meskipun nilai seninya tinggi, akhirnya dia dicap BODOH..pdhal anak yang pandai seni juga CERDAS, anak yang pandai bahasa meski tidak pinter matematika dia juga anak CERDAS, semua anak adalah cerdas berdasarkan kemampuan mereka dan bakat mereka , tetapi dengan sistem seleksi kita yang cuma satu jalur , menyebabkan cap CERDAS dan PINTAR hanya diterima oleh anak yang bisa lolos ujian dengan nilai yang baik untuk mata pelajaran yang dianggap sebagai filter kemampuan. Lihatlah ..betapa marak promosi yang menawarkan test Finger print untuk mengetahui bakat anak..untuk apa???diidndonesia test ini hasilnya tidak akan mempengaruhi apapun ,karena setelah kita tahu bakat anak kita, toh pada akhirnya anak kita harus kembali kedunia nyata, bahwa dia tetap harus berkompetisi dengan sistem yang mungkin tidak sesuai dengan bakat mereka. Mari kita tengok sistem pendidikan dinegara maju.... Disana tidak ada yang namanya anak bodoh, semua anak pinter..semua anak mendapatkan penghargaan atas kemapuan mereka masing2, setiap anak punya keistimewaan, tidak ada yang the best for everything..semua memilki the best pada diri mereka masing -masing. Gurupun sudah sejak dini menggali bakat mereka, anak yang pandai menggambar..maka dia akan berkembang dalam bidang menggambarnya, tidak perlu khawatir dia tidak masuk sekolah lanjutan pertama favorit, karena apapun kemampuan mereka , dibidang apapun itu, setiap minat memilki standart seleksi berdasarkan minat dan bakat tersebut, jadi anak yang nggak suka matematika tapi suka bahasa tidak perlu belajar ngebut matematika sampai kepalanya pusing , begitupun anak yang pandai matematika dan tidak k bisa melukis, nggak perlu berusaha melukis sampai krayonnya basah kuyub oleh air mata..begitu selanjutnya.. KADO dan Penghargaan, guru-guru disanapun suka sekali sekedar memberi selembar piagam yang mereka sebut dengan DIPLOMA, diploma ini diberikan untuk semua anak, agar mereka senang dan termotivasi untuk mengembangkan minat mereka, tidak ada yang terlewat....semua anak akan merasa dirinya pernah menjadi yang terbaik, untuk sesuatu yang memang mereka sukai dan mereka lakukan... Ntah mau dibawa kemana sistem pendidikan kita, menggenjot anak2 kita dengan kurikulum yang sangat berat, disaat mereka masih butuh waktu untuk bermain, menikmati masa kecil , bersenda gurau dengan keluarga, Childhood adalah masa yang terbatas jangka waktunya, tidak akan terulang ketika mereka telah lepas dari 12 tahun, kebersamaan mereka dengan keluarga, dengan tetangga , dengan teman dan saudara..waktu indah itu terpaksa harus diisi dengan kerja keras, belajar dan belajar, disekolah, dirumah , ditempat les..semakin sempitlah waktu mereka untuk menikmati masa kecilnya...sedang ketika mereka sudah menginjak dewasa dan merupakan saat untuk mereka berkompetisi...tingal lelah dan kejenuhan yang tersisa di dalam diri mereka, sementara saat itu anak2 dari negera maju sedang bergairah untuk berkompetisi dan berprestasi... Ntah siapa yang tergerak untuk setidaknya menkaji kembali sistem pendidikan kita, memberi sedikit perubahan demi keselamatan dan masa depan anak-anak kita di masa yang akan datang... wallahualam .....