Minggu, 27 Februari 2011

Publikasi Ilmiah SemNas MIPA 2011

EFEK NUTRISIONAL TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera) VARIETAS NTT TERHADAP KADAR ALBUMIN TIKUS WISTAR KURANG ENERGI PROTEIN
(Studi In Vivo Kelor sebagai Kandidat Terapi Suplementasi
pada Kasus Gizi Buruk)


Hendra Susanto, S.Pd, M.Kes1, Siti Imroatul Maslikah, S.Si, M.Si1 , Hernowati, T. E, Dr. dr, SpPK (K)2 Johannis WD Therik 3
1 Dosen Biologi Universitas Negeri Malang
2 Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
3 Dosen Politeknik Negeri Kupang


Abstrak
Kata Kunci: Tepung Daun Kelor, Kadar Albumin, Tikus Wistar Kurang Energi Protein

Malnutrisi menjadi salah satu faktor utama penyebab kematian bayi di daerah tropis dan subtropis. Di negara miskin, satu dari lima bayi meninggal selama proses pertumbuhannya. Prevalensi gizi kurang di Indonesia mengalami peningkatan dari 27.5% tahun 2003 menjadi 28% pada tahun 2006, demikian pula prevalensi gizi buruk meningkat dari 8.2% tahun 2003 menjadi 8,5% pada tahun 2006 (Susenas, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu model terapi nutrisional baru sebagai upaya untuk mengatasi kejadian luar biasa kasus Gizi Buruk di Indonesia, dengan pemanfaatan tepung daun kelor sebagai suplemen yang menjadi sumber mikro dan makronutrient untuk penanganan kasus malnutrient. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan rancangan percobaan acak kelompok (RAK) dengan perlakuan dosis tepung kelor yang digunakan yaitu 180, 360, 720, dan 1440 mg/hari dengan menggunakan daun kelor varietas NTT. Kelompok percobaan meliputi kelompok kontrol negatif, kontrol positif, tikus percobaan kelompok diet normal, KEP dan kelompok KEP dengan pemberian tepung kelor dengan 6 kali ulangan. Seluruh teknis pengolahan data dianalisis secara komputerisasi dengan One way Anova menggunakan Software Statistical Product and Servive Solution 16 PS (SPSS 14 PS) dengan taraf signifikan (p < 0,05) untuk mengetahui perbedaan kadar Albumin antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Data hasil analisis disajikan dalam bentuk mean±SD. Dari hasil pengujian kandungan gizi kelor jenis hijau dari varietas NTT yang mengandung 27,01% protein per 100 g tepung kering daun kelor, nampak bahwa potensi kelor varietas lokal NTT dapat disetarakan dengan kelor yang telah direkomendasikan pada hasil penelitian di Afrika.. Hal ini berarti dari hasil penelitian pemberian tepung daun kelor varietas NTT pada model hewan KEP dapat dijadikan sebagai rekomendasi awal untuk eksplorasi lebih lanjut potensi nutrisional tepung daun kelor varietas NTT sebagai kandidat suplemen nutrisi untuk kasus malnutrisi. Dapat disimpulkan bahwa pemberian tepung daun kelor varietas NTT dapat meningkatkan status gizi tikus model KEP dengan indikator kadar albumin darah dan dosis optimal tepung daun kelor varietas NTT yang bisa meningkatkan status gizi tikus KEP adalah 720 mg/hari.


PENDAHULUAN
Malnutrisi menjadi salah satu faktor utama penyebab kematian bayi di daerah tropis dan subtropis. Di negara miskin, satu dari lima bayi meninggal selama proses pertumbuhannya. Di berbagai negara diprediksi 7 juta orang meninggal pertahun akibat kelaparan, dan sebagian kasus ini disebabkan oleh undernutrisi kronik. Bagi anak penderita malnutrisi, juga menimbulkan vitamin A deficiency (VAD). Diketahui bahwa vitamin A merupakan modulator kunci pada sistem imun tubuh, membantu melawan infeksi serta mencegah penyakit seperti diarrhea, tuberculosis dan malaria. Beberapa kasus mengakibatkan kebutaan dan manifestasi xeroftalmia dengan kerusakan kornea (Fuglie, 2001).
 Prevalensi gizi kurang di Indonesia mengalami peningkatan dari 27.5 % tahun 2003 menjadi 28 % pada tahun 2006, demikian pula prevalensi gizi buruk meningkat dari 8.2 % tahun 2003 menjadi 8,5 % pada tahun 2006 (Susenas, 2006). Provinsi NTT dinyatakan sebagai Daerah Kejadian Luar Biasa (KLB) gizi buruk karena terjadi peningkatan kasus gizi buruk yang sangat besar pada tahun 2004 s/d  2006, dengan besaran kasus 3 (tiga) kali lipat jumlah kasus gizi buruk  dibandingkan tahun sebelumnya (tahun 2003). Data Dinas Kesehatan Provinsi NTT per April 2008 menunjukkan jumlah anak pra sekolah terindikasi gizi buruk di wilayah ini berjumlah 3.023 balita.
Indikator laboratorium yang dapat dijadikan untuk uji sensitivitas status gizi individu dan spesifik untuk intake nutrisi antara lain albumin (Bahn, 2006). Albumin memiliki half life yang cukup panjang yaitu 14-20 hari dan benar-benar mampu untuk menjadi marker status nutrisi kronik. Salah satu tanaman di Indonesia yang memiliki potensi besar untuk solusi dalam upaya penanganan kasus malnutrisi adalah tanaman kelor. Kelor (Moringa oleifera) adalah tanaman yang banyak dijumpai di daerah tropis dan subtropis. Daun kelor memiliki potensi sebagai sumber utama beberapa nutrient dan elemen  therapeutic, termasuk anti inflamasi, antibiotik, dan memacu sistem imun. Daun kelor memiliki kandungan zat besi dan protein tinggi yang memiliki potensi terapi suplementasi untuk anak-anak malnutrisi. Penambahan kelor pada diet harian anak-anak mampu melakukan recovery secara cepat karena mengandung 40 nutrient esensial. Daun pohon kelor menjadi sumber dari banyak nutrient yang diduga mampu mengatasi malnutrisi di daerah yang beriklim tropis dan subtropis. Kondisi geografis NTT dengan iklim tropis kering memungkinkan tanaman kelor tumbuh dengan baik. Kelor sebagai tanaman yang dapat dijumpai dalam skala luas di NTT yang sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal baik sebagai tambahan komsumsi diet bagi ibu hamil, wanita menyusui, balita akibat masih kurangnya informasi komposisi nutrisional kelor varietas NTT. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut melalui penelitian eksperimental laboratorium, untuk mengetahui dan membuktikan sejauh mana kandungan nutrisi pada tanaman kelor varietas NTT dapat memperbaiki status gizi individu yang mengidap kekurangan energi dan dan kalori akibat malnutrisi. Dan apakah suplementasi tepung daun kelor varietas NTT dapat meningkatkan kadar albumin pada tikus strain wistar yang diperlakukan KEP (Kurang Energi Protein).


METODE PENELITIEN
Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan data dilakukan bulan Juli sampai dengan September  2010. Tempat penelitian adalah laboratorium Fisiologi Molekuler FK Universitas Brawijaya dan Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang.

Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan rancangan percobaan acak kelompok (RAK). Sebagai perlakuan dalam penelitian ini adalah dosis tepung daun kelor varietas NTT. Penelitian ini dilakukan dengan 6 kali ulangan.

Pembuatan Tikus KEP
Untuk pembuatan tikus KEP, tikus yang berumur 2 bulan diberi diet harian dengan susunan bahan pakan rendah protein (4%) dari total intake harian dengan karak/nasi yang dikeringkan dengan berat pakan 30gr/hari sesuai dengan berat pakan standard untuk diet harian tikus Wistar. Pembuatan tikus KEP dilakukan selama antara selang waktu 56 hari (2 bulan). Tikus telah dinyatakan KEP jika nilai albumin berada dibawah nilai 3,3 mg/dL atau berada minimal pada rentang sekitar 2,7 mg/ dL.
Untuk pakan standart yang diberikan adalah 30gr/hari dan komposisinya seperti tabel berikut ini:
Diet Normal :
PAR-S
Energi  = (1000:100) x 344 = 3400 Kal.
Protein = (1000:100) x 19 = 190 gram
Lemak  = (1000:100) x 4 = 40 gram
KH       = (1000:100) x 58 = 580 gram

Penghitungan Dosis Kelor dan Pembagian Kelompok Perlakuan
Untuk penghitungan dosis minimal tepung daun kelor dari varietas NTT sebagai berikut: Menurut FAO dosis tepung kelor untuk anak usia 3 tahun (BB 14 kg) sebesar 25 gr/hari. Untuk tikus dengan BB 200gr, maka dosis yang diperlukan minimal = 200/14000 x 25gr = 357 mg. Kemudian dibulatkan menjadi 360 mg/hari. Jadi untuk dosis tepung kelor yang digunakan yaitu 180, 360, 720, dan 1440 mg/hari.

Untuk tikus subjek penelitian dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:
  1. Kontrol  Negatif = tikus wistar jantan usia 2 bulan diberi pakan standar.
  2. Kelompok Kontrol positif = tikus wistar jantan usia 2 bulan diberi pakan KEP  tanpa suplementasi tepung daun kelor selama 1 bulan.
  3. Kelompok I = tikus wistar jantan usia 2 bulan diberi pakan KEP dengan suplementasi tepung daun kelor dosis 180 mg /hari selama 1 bulan.
  4. Kelompok II = tikus wistar jantan usia 2 bulan diberi pakan KEP dengan suplementasi tepung daun kelor dosis  360 mg /hari selama 1 bulan.
  5. Kelompok III = tikus wistar jantan usia 2 bulan diberi pakan KEP dengan suplementasi tepung daun kelor dosis 720 mg/hari selama 1 bulan.
  6. Kelompok IV = tikus wistar jantan usia 2 bulan diberi pakan KEP dengan suplementasi tepung daun kelor dosis 1440 mg/hari selama 1 bulan.

Metode Pengukuran Albumin
Untuk pengukuran variabel indikator status gizi Albumin sebagai berikut:
Pengukuran kadar albumin dilakukan dengan uji kimia darah menggunakan prosedur alat Cobas Mira Plus di Laboratorium Fisiologi Molekuler FK UB.

Analisis Data
            Seluruh teknis pengolahan data dianalisis secara komputerisasi dengan One way Anova menggunakan Software Statistical Product and Servive Solution 16 PS (SPSS 14 PS) dengan taraf signifikan (p < 0,05) untuk mengetahui perbedaan kadar Albumin antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Data hasil analisis disajikan dalam bentuk mean±SD.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Efek Pemberian Tepung Daun Kelor pada Berat Badan dan Indikator Status Gizi
Berdasarkan hasil penelitian data perbedaan berat badan tikus percobaan kelompok diet normal, KEP dan kelompok KEP dengan pemberian tepung kelor berbagai dosis. Setelah 2 bulan pengamatan (pembuatan tikus KEP) dan 3 bulan (setelah perlakuan dengan pemberian tepung kelor) disajikan seperti pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Berat Badan Tikus pada  Bulan ke 2 dan 3 Menurut Pemberian Pakan
BB
(gr)
Kontrol (pakan normal)
(Mean±SD)
KEP
(Mean±SD)
KEP + kelor 180 mg
(Mean±SD)
2 bln
3 bln
2 bln
3 bln
2 bln
3 bln
228,7±11,3
250,0±11,6
100,8±11,6
93,0±11,7
105,8±13,4
217,3±23,3

BB
(gr)
KEP + kelor 360 mg (Mean±SD)
KEP + kelor 720 mg
(Mean±SD)
KEP + kelor 1440 mg (Mean±SD)
2 bln
3 bln
2 bln
3 bln
2 bln
3 bln
103,2±8,5
201,8±18,1
102,5±9,0
249,5±9,8
104,7±13,3
215,7±33,8

Berat badan tikus dengan pakan normal selama 2 bulan rata-rata lebih tinggi dibanding kelompok KEP. Pada bulan ke 3 semua kelompok mengalami kenaikan berat badan kecuali kelompok KEP murni yang justru turun dari 100,8±11,6 menjadi  93,0±11,7. Peningkatan berat badan tertinggi dicapai oleh kelompok KEP + Kelor 720 mg, sedangkan peningkatan berat badan pada penambahan tepung daun kelor diatas 720 mg/hari lebih rendah dibanding kelompok 720 mg/ hari.
Indikator status gizi pada penelitian ini dilakukan dengan pengukuran kadar albumin darah. Hasil pengukuran (rerata ± SD) disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 2. Kadar Albumin Darah Menurut Kelompok Pemberian Pakan dan Dosis Tepung Daun Kelor

Parameter
Kelompok
Normal
KEP
KEP + Kelor 180 mg/hari
KEP + Kelor 360 mg/hari
KEP + Kelor 720 mg/hari
KEP + Kelor 1440 mg/hari
Albumin
3,1±0,19
2,5±0,14
2,9±0,12
2,5±0,12
3,6±0,12

2,6±0,16


Hasil pengukuran kadar albumin darah pada beberapa kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 1 dibawah ini:

       Gambar 1. Hubungan antara Efek Pemberian Tepung Kelor terhadap Kadar Albumin.

Keterangan: 1 = kelompok kontrol negatif (pakan normal), 2 = kelompok kontrol positif (pakan KEP), 3 = kelompok perlakuan kelor dosis 180mg/hari, 4 = kelompok perlakuan kelor dosis 360mg/hari, 5 = kelompok perlakuan kelor dosis 720mg/hari, 6 = kelompok perlakuan kelor dosis 1440mg/hari.


Tabel 3. Rerata Kadar Albumin pada Beberapa Kelompok Perlakuan (g/dL)
Perlakuan
N
Mean ± SD (p ≤ 0,05)
Kontrol Negatif
6
3,1±0,19 (b
Kontrol Positif
6
2,5±0,14 (a
Kelor Dosis 180mg
6
2,9±0,12(b
Kelor Dosis 360mg
6
2,5±0,12 (a
Kelor Dosis 720mg
6
3,6±0,12 (c
Kelor Dosis 1440mg
6
2,6±0,16 (a
Keterangan:
Notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata sedangkan notasi yang berbeda menunjukkan berbeda signifikan.

Berdasarkan hasil pengukuran kadar albumin darah, peningkatan kadar albumin terjadi pada tikus KEP setelah pemberian tepung daun kelor. Peningkatan tertinggi terjadi pada pemberian dosis 720 mg /hari. Pemberian dosis diatas 720 mg/ hari menghasilkan kadar albumin seperti keadaan KEP sebelum diberi asupan tepung daun kelor.

Pembahasan
Tepung daun kelor varietas NTT jenis kelor hijau memiliki kandungan gizi lebih baik daripada jenis kelor merah, baik protein, lemak maupun  karbohidrat, tetapi kadar besinya lebih rendah (Therik, 2008). Bila dibandingkan dengan kandungan gizi daun kelor varietas Afrika (Fuglie,2000), varietas NTT masih lebih rendah, meskipun kandungan proteinnya hampir sama. Berdasarkan hasil penelitian Fuglie (2000) tersebut dapat kita bandingkan dengan kandungan gizi potensial dari tepung daun kelor varietas NTT. Dari hasil pengujian kandungan gizi kelor jenis hijau dari varietas NTT yang mengandung 27,01% protein per 100 g tepung kering daun kelor, nampak bahwa potensi kelor varietas lokal NTT dapat disetarakan dengan kelor yang telah direkomendasikan pada hasil penelitian di Afrika.. Hal ini berarti dari hasil penelitian pemberian tepung daun kelor varietas NTT pada model hewan KEP dapat dijadikan sebagai rekomendasi awal untuk eksplorasi lebih lanjut potensi nutrisional tepung daun kelor varietas NTT sebagai kandidat suplemen nutrisi untuk kasus malnutrisi.
Tingginya kandungan gizi daun kelor varietas NTT ternyata mampu meningkatkan status gizi tikus model KEP dengan ditandai peningkatan kadar parameter (indikator status gizi) yang dalam penelitian ini yaitu albumin. Hasil penelitian Fuglie (2000) di Senegal pada komunitas masyarakat kurang gizi dengan terapi tepung daun kelor juga menunjukkan hasil yang signifikan terhadap status gizi individu. Penelitian Tshikaji (FAO, 2006) melaporkan bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi malnutrisi adalah dengan penggunaan kelor sebagai sumber diet tambahan, karena daun kelor memiliki kandungan protein lengkap (mengandung 9 asam amino esensial), kalsium, zat besi, kalium, magnesium, dan vitamin A, C, E serta B yang memiliki peran besar pada sistem imun. Data pada ibu dan bayi diberi diet dengan kelor, ibu mulai menghasilkan ASI cukup dan terjadi penambahan berat badan yang signifikan dalam waktu singkat pada bayi masyarakat pedesaan di Congo.
Albumin memiliki half life yang cukup panjang (14-20 hari), sehingga dapat menjadi indikator status nutrisi kronik. Fungsi albumin yang utama sebagai protein carier dan membantu untuk menjaga tekanan onkotik (Bahn, 2006). Peningkatan kadar albumin hanya terjadi pada kelompok dosis 180 mg, 360 dan 720 mg/ hari. Sedangkan pada pemberian dosis 1440 mg/hari terjadi penurunan kadar albumin yang sama dengan kondisi KEP tanpa pemberian tepung daun kelor. Hal ini mungkin disebabkan dosis tepung daun kelor yang tinggi membebani kerja hepar dalam mensintesis albumin.
Pada kasus malnutrisi seperti pada kwashiorkor defisiensi protein akan menurunkan kualitas hidup individu dengan efek penurunan sistem imun, berat badan, dsb. Dari hasil penelitian ini pula memberikan gambaran awal bahwa tepung daun kelor dari varietas NTT memiliki kapabilitas poten untuk melakukan recovery terhadap beberapa indikator status gizi potensial. Hasil tersebut terlihat jelas pada kelompok perlakuan setelah tikus wistar diperlakukan dengan diet kurang energi protein (KEP) diikuti pemberian suplemen tepung daun kelor, ternyata kadar dari beberapa indikator tersebut naik kembali dan pada rentang dosis 180-720 mg/ hari mampu mencapai rentangan kadar normal untuk masing-masing indikator tersebut setelah pemberian dosis 360 mg/ hari.
Peningkatan indikator gizi pada tikus model KEP yang mencapai maksimal pada dosis 720 mg/ hari merupakan salah satu fenomena farmakologis bahwa efek pemberian obat (dalam hal ini suplemen tepung daun kelor) membentuk kurva sigmoid mempunyai batas maksimal.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.  Pemberian Tepung daun kelor varietas NTT dapat meningkatkan status gizi tikus model KEP dengan indikator kadar albumin darah.
2.  Dosis optimal tepung daun kelor varietas NTT yang bisa meningkatkan status gizi tikus KEP adalah 720 mg/ hari

Saran
1.   Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang uji farmakodinamik, farmakokinetik, dan uji toksisitas tepung daun kelor varietas NTT untuk menentukan LD50 dan perubahan patologis organ pada hewan coba.
2.   Untuk tahap selanjutnya perlu dilakukan uji klinis untuk memastikan efektivitas, keamanan, dan gambaran efek samping bahan tepung kelor yang sering timbul pada manusia akibat pemberian bahan tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Banh, Le.  2006. Serum Proteins as Markers of Nutrition: What Are We Treating?. Nutrition  Issues In GastroEnterology, 43: 1-11

Beck, K. F., M.D  and Thomas C. Rosenthal. 2002. Prealbumin: A Marker for Nutritional Evaluation. Am Fam Physician , 65:1575-8

Duke. A. J.  1983. Handbook of Energy Crops. unpublished.

Fahey, Jed W.,2005. Moringa Oleifera: A Review of the Medical Evidence for Its Nutritional, Therapeutic, and Prophylactic Properties, Part 1. Johns Hopkins School of Medicine, Department of Pharmacology and Molecular Sciences. Article published online at: Trees for Life Journal; www.TFLJournal.org

Fuglie, Lowell J., L’Arbre de la Vie : Les Multiples Usages du Moringa. 2002 ; Church World Service, 475 Riverside Drive, New York, NY 10115

Fuglie, L.J. 2001. Combating Malnutrition with Moringa. Senegal: Bureau Regional Afrika
Fuglie, Lowell. 2000. The Miracle Tree. Dakar Senegal.

Garrity, D., Okono A., Grayson M., Parrott S., World Agro forestry into the Future, 2006, World Agro forestry Centre; Nairobi
Holst, Sanford. 2000. Moringa, Nature's Medicine Cabinet. Sierra Sunrise Books.
Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta: UGM Press

Marcu, Monica 2005, Miracle Tree; KOS Health Publications, La Canada CA
Olson, 1985. Mark Moringa Nature Medicine. Missouri Botanical Garden in St. Louis.

Price, Martin. 1985. The Moringa Tree. Missouri Botanical Garden in St. Lou
          Protocole National de Prise en Charge de la Malnutrition Aigue. 2002. Ministère de la Santé, Programme National de Nutrition ; Kinshasa République Démocratique du Congo

UNICEF, The State of the World’s Children. 2007. www.unicef.org/sowc07/statistics/statistics.php  United Nations Food and Agricultural Organization (FAO). 2006. Food Security Statistics-Democratic Republic of the Congo, www.fao.org/faostat/foodsecurity

Winterbourn, C.C.. 1991.  Free Radical Biology Of Iron. In: Dreosti, I. E., ed. Trace Elements, Micronutrients, and Free Radicals.  New Jersey: Humana Press, pp.  52-74

1 komentar:

  1. Assalamualaikum
    selamat malam pak, saya Alfi dari FK UNEJ,
    begini pak, saya tertarik dengan mekanisme induksi KEP pada penelitian bapak,
    saya ingin bertanya pak, untuk induksi kep pada penelitian tersebut tikus diberika karak (nasi kering) dalam bentuk apa pak? apa di haluskan terlebih dahulu?
    terima kasih pak,,,

    BalasHapus