Sabtu, 12 Maret 2011

Reborn of The Earth


REBORN OF THE EARTH MELALUI EKOKONSERVASI BUDIDAYA TANAMAN KELOR (Moringa oleifera) VARIETAS NTT (SEBUAH TEROBOSAN BARU PEMBERDAYAAN LAHAN KRITIS DALAM PENANGGULANGAN KASUS MALNUTRISI)

Oleh
Hendra Susanto, S.Pd, M.Kes
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang

Pada era globalisasi yang semakin tak terbendung seperti saat ini semakin banyak terjadi kesenjangan yang tidak hanya berada pada ranah sosial belaka, melainkan merembet pada ranah ekososiogeografis yang menjadi interaksi manusia dan lingkungannya dalam setiap aktivitasnya. Kesenjangan itu semakin membuat bumi semakin terasa sempit dan seakan-akan sangat sulit mencari tempat tinggal yang nyaman dengan segala ketersediaan bahan alam yang menjadi sumber kehidupan manusia. Seperti halnya banyak terjadi di daerah perkotaan, sangat nampak bahwa sejengkal tanah sangatlah berharga dan banyak orang sampai mengorbankan apapun agar bisa tinggal di atasnya. Apakah separah itukah kondisi bumi kita saat ini? sehingga manusia berbondong-bondong untuk tinggal dan menetap di kota-kota besar. Akan tetapi hal ini akan menimbulkan dampak perubahan ekologis yang luar biasa, dan memiliki kecenderungan muncul kasus rawan pangan di tengah-tengah hiruk pikuknya manusia berlomba-lomba mengejar materi tanpa memikirkan kondisi orang-orang disekitarnya yang kurang berkecukupan. Budaya urbanisasi global semakin memacu matinya eksplorasi secara bijak dan upaya konservasi terhadap potensi-potensi lokal yang memiliki nilai ekologis dan ekonomis tinggi yang secara tidak langsung berdampak pada pertumbuhan ekonomi di masyarakat.
Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun 2009 -2014, ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan dapat menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi bangsa baik masalah sosioekonomi dan masalah lain yang terkait dengan perubahan alam semesta, khususnya perubahan prosentase ketersediaan sumber daya alam. Kesenjangan perkembangan ilmu pengetahuan antara kota dan desa menyebabkan kerusakan akibat eksploitasi SDA di daerah-daerah tanpa memikirkan efek jangka panjang akibat perbuatan manusia tersebut. Sepertinya kelahiran kembali bumi kita tercinta ini akan hanya menjadi angan-angan dan retorika semata jika tidak ada tanggungjawab moral konkrit perbaikan kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Dampak jangka panjang di bidang pangan telah mulai nampak di negara kita yang disebut-sebut sebagai negara agraris tetapi pada kenyataannya banyak rakyat kita yang tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan dan pemenuhan gizi keluarga setiap harinya. Pentingnya gizi bagi pertumbuhan anak dimasa tumbuh kembang sangat  mempengaruhi terhadap perkembangan otak calon-calon generasi penerus bangsa ini.
Fakta yang menyakitkan nampak di beberapa penjuru negara ini, yaitu kasus malnutrisi. Malnutrisi menjadi suatu fenomena yang harus segera dicarikan solusi. Kondisi geografis di Indonesia yang beragam mengakibatkan tingkat ketahanan pangan berbeda pada tiap daerah. Masalah malnutrisi masih ditemukan pada banyak tempat di Indonesia, dan ironisnya Indonesia mengalami kedua ekstrim permasalahan malnutrisi. Di satu sisi, daerah yang mengalami rawan pangan dan kelompok dengan kemampuan ekonomi yang kurang memadai amat rentan terhadap terjadinya malnutrisi dalam bentuk gizi kurang. Organisasi pangan dunia (FAO) mencatat pada kurun waktu 2001-2003 di Indonesia terdapat sekitar 13,8 juta penduduk yang kekurangan gizi. Sementara berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2005, angka gizi buruk dan gizi kurang adalah 28 persen dari jumlah anak Indonesia.
 Malnutrisi menjadi penyebab terjadinya kematian bayi di daerah tropis dan subtropis seperti halnya Indonesia. Di berbagai belahan dunia diprediksi 7 juta orang meninggal pertahun akibat kelaparan, dan sebagian kasus ini disebabkan oleh undernutrisi kronik. Status gizi balita di Indonesia menunjukkan peningkatan prevalensi gizi kurang dari 27.5 % tahun 2003 menjadi 28 % pada tahun 2006, demikian pula prevalensi gizi buruk meningkat dari 8.2 % tahun 2003 menjadi 8,5 % pada tahun 2006. Propinsi NTT  dinyatakan sebagai Daerah Kejadian Luar Biasa (KLB) gizi buruk akibat peningkatan kasus gizi buruk tiga kali lipat pada tahun 2004h - 2006 dibandingkan tahun 2003. Timbul suatu tanda tanya besar, apakah bumi Indonesia tercinta ini sudah sebegitu rusaknya sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan akan pangan bagi manusia yang tinggal di atasnya, ataukan juga karena perkembangan populasi masyarakat kita yang sangat pesan dibarengi secara signifikan dengan peningkatan aktivitas perusakan yang dilakukan manusia?semua itu mulai terjawab saat ini dengan semakin banyak orang miskin yang tidak dapat hidup layak dan dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya. Sepertinya budaya individualistik liberal lambat laun mulai berkembang pesat di kalangan manusia yang hidup di atas bumi kita ini dengan mengatasnamakan modernisasi. Bumi ini telah rusak, tetapi kita masih dapat memperpanjang “life time” dengan cara melakukan ekokonservasi terhadap lahan-lahan non produktif dan kritis sebagai suatu tawaran solusi baru mengatasi masalah malnutrisi serta mendorong kelahiran kembali bumi ini dengan “sedikit wajah baru” agar tidak semakin rusak.
Upaya peningkatan status gizi melalui pemanfaatan sumberdaya alam dan sistem pengolahan pangan terpadu  yang ada didaerah untuk dapat dikelola menjadi suatu bentuk produk pangan yang sehat dan higienis sangat penting untuk dikembangkan lebih lanjut saat ini. Daun kelor varietas NTT diprediksikan dapat menjadi sumber banyak nutrient yang diprospek mampu untuk mengatasi malnutrisi di daerah yang beriklim tropis dan subtropis, seperti halnya di Indonesia. Secara empiris, tepung daun kelor varietas NTT sampai saat tanaman kelor ini telah dikonsumsi oleh sebagian masyarakat di Kupang- NTT. Akan tetapi masih perlu pengujian secara klinis manfaat kandungan gizi pada tepung daun kelor tersebut. Disamping itu juga, di Indonesia belum banyak pengembangan dan pembudidayaan tanaman kelor tersebut serta eksplorasi kandungan nutrisinya, baik dalam bentuk kapsul maupun bentuk lainnya.
Mengingat besaran dan sebaran gizi buruk yang ada di semua wilayah terutama seperti di daerah kantong malnutrisi NTT dan juga di beberapa daerah lainnya, hal ini akan berdampak terhadap kualitas sumber daya manusia.  Oleh karena itu pencegahan dan penanggulangan gizi buruk merupakan program nasional, sehingga perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi harus  dilaksanakan secara berkesinambungan antara pusat dan daerah. Penanggulangan masalah gizi buruk dilaksanakan dengan pendekatan komprehensif, dengan mengutamakan upaya pencegahan dan upaya peningkatan, yang didukung upaya-upaya dalam pemanfaatan sumber pangan lokal yang ada  dan dilaksanakan oleh semua kabupaten/kota secara terus menerus, dengan koordinasi lintas instansi/dinas dan organisasi masyarakat. Secara ekonomis kemajuan suatu masyarakat dapat diukur dengan menggunakan antara lain dua indikator, yaitu pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Suatu masyarakat dikatakan maju dan berkembang secara ekonomis bila dari waktu ke waktu terjadi peningkatan produksi pangan dan sekaligus dapat menikmati hasil dari peningkatan produksi secara adil dan merata.
Usaha yang telah dilakukan untuk menunjang program reborn of the earth secara mikro yaitu dengan melakukan program ekokonservasi pangan dengan pengembangan tanaman kelor (Moringa oleifera) dalam areal Kabupaten Kupang sebagai lahan percontohan dengan ketersediaan lahan 1 hektar yang berada di daerah Babau Kecamatan Kupang Timur dan di daerah Tilong Kecamatan Kupang Timur seluas 3000 m2 . Berdasarkan data stastistik dan peta pemetaan daerah rawan gizi maka ditetapkan daerah pelaksanaan penanggulangan yaitu di Kabupaten Kupang dengan memanfaatkan potensi lahan tidur masyarakat maupun lahan yang telah disediakan sebagai tempat pembibitan atau penangkaran terhadap tanaman kelor (Moringa oleifera) yang diharapkan menjadi Pilot Project untuk dapat dikembangkan pada daerah- lain.
Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Dua dari lima indikator sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs adalah menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita (indikator keempat) dan menurunnya jumlah penduduk dengan defisit energi (indikator kelima). Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Anak balita sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umurnya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan. Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut gizi kurang. Apabila jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk. Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus atau kwashiorkor. Sementara itu, pengertian di masyarakat tentang ”Busung Lapar” adalah tidak tepat. Sebutan ”Busung Lapar” yang sebenarnya adalah keadaan yang terjadi akibat kekurangan pangan dalam kurun waktu tertentu pada satu wilayah, sehingga mengakibatkan kurangnya asupan zat gizi yang diperlukan, yang pada akhirnya berdampak pada kondisi status gizi menjadi kurang atau buruk dan keadaan ini terjadi pada semua golongan umur. Tanda-tanda klinis pada ”Busung Lapar” pada umumnya sama dengan tanda-tanda pada marasmus dan kwashiorkor.
Kelor merupakan solusi sederhana dan siap pakai dengan cepat untuk solusi masalah malnutrisi. Daun kelor memiliki potensi sebagai sumber utama beberapa nutrient dan elemen  therapeutic, termasuk anti inflamasi, antibiotik, dan memacu sistem imun. Hal ini memberikan peluang terapi pendukung nutrisional penting untuk individu HIV/AIDS dan individu lain yang mengalami immune-supressed. Daun kelor memiliki kandungan zat besi dan protein tinggi yang memiliki potensi terapi suplementasi untuk anak-anak malnutrisi. Penambahan kelor pada diet harian anak-anak mampu melakukan recovery secara cepat karena mengandung 40 nutrient esensial. Daun pohon kelor menjadi sumber dari banyak nutrient yang diprospek mampu untuk mengatasi malnutrisi di daerah yang beriklim tropis dan subtropis. Kelor menjadi sumber vitamin A dan zat besi terbaik dibandingkan beberapa tanaman suku leguminoceae. Daun kelor menawarkan kuantitas signifikan dari vitamin C, B komplek, kalsium, protein, kalium, magnesium, selenium, zinc, dan mampu menjaga keseimbangan dengan baik untuk semua asam amino esensial.
Kelor memiliki nama daerah Kilor; Celor; Kerol; Kelo; Keloro, atau Maronggi. Tumbuhan ini berupa pohon yang tingginya lebih kurang 8 meter. Batang berkayu, bulat, bercabang, berbintik hitam, warna putih kotor. Daun majemuk, panjang 20-60 cm, anak daun bulat telur, tepi rata, ujung berlekuk, tulang menyirip ganjil, warna hijau. Bunga majemuk, bentuk malai, letak di ketiak daun, panjang 10-30 cm, mahkota warna putih. Buah polong, panjang 20-45 cm, berisi 15-25 biji, warna cokelat kehitaman. Kelor tumbuh liar di ladang pada daerah cukup air, dengan cahaya matahari penuh pada ketinggian 300-900 m dpl. Kelor memiliki kandungan kimia Pterigospermin; minyak atsiri; Alkaloid moringin; Moringinin; Minyak lemak dengan khasiat Diuretik; Stimulan; Ekspektoran; Analgesik.
Standar nutrisional hasil analisis tepung kering daun Moringa oleifera per 100g adalah sebagai berikut:
                Moisture % 7.5; Calories 205; Protein (g) 27.1; Fat (g) 2.3; Carbohydrate (g) 38.2 Fiber (g) 19.2; Ca (mg) 2,003 ; Mg (mg) 368; P (mg) 204; K (mg) 1,324; Cu (mg) 0.57; Fe (mg) 28.2; S (mg) 870; Oxalic acid (mg) 1.6%; Vitamin A-B carotene (mg) 16.3; Vitamin B - choline (mg); Vitamin B1 - thiamin (mg) 2.64; Vitamin B2 - riboflavin (mg) 20.5; Vitamin B3 - nicotinic acid (mg) 8.2; Vitamin C 0 ascorbic acid (mg) 17.3; Vitamin E tocopherol acetate mg) 113; Arginine (g/16gN) 1.33%; Histidine (g/16gN) 0.61%; Lysine (g/16gN) 1.32%; Tryptophan (g/16gN) 0.43%; Phenylanaline (g/16gN) 1.39%; Methionine (g/16gN) 0.35%; Threonine (g/16gN) 1.19%; Leucine (g/16gN) 1.95%; Isoleucine (g/16gN) 0.83%; Valine (g/16gN) 1.06% (Fuglie, 2000).
                Perbandingan per gram kelor dibandingkan dengan 1 gram beberapa kandungan substansi tertentu dari tumbuhan lain yaitu 1 gram kelor memiliki kandungan vitamin C 7 kali lebih besar dibandingkan jeruk, kandungan kalsiumnya 4 kali lebih besar dibandingkan susu, kandungan vitamin A 4 kali lebih tinggi dari wortel, kandungan proteinnya 2 kali lebih tinggi dari susu, serta memiliki kandungan Kalium 3 kali lebih tinggi dibandingkan pisang. Per 100g, buah kelor dilaporkan mengandung 86.9 g H2O, 2.5 g protein, 0.1 g lemak, 8.5 g total karbohidrat, 4.8 g fiber, 2.0 g ash, 30 mg Ca, 110 mg P, 5.3 mg Fe, 184 IU vit. A, 0.2 mg niacin, dan 120 mg ascorbic acid, 310 mg Cu, 1.8 mg I. Daun mengandung 7.5 g H2O, 6.7 g protein, 1.7 g fat, 14.3 g total carbohydrate, 0.9 g fiber, 2.3 g ash, 440 mg Ca, 70 mg P, 7 mg Fe, 110 mg Cu, 5.1 mg I, 11,300 IU vit. A, 120 mg vit. B, 0.8 mg nicotinic acid, 220 mg ascorbic acid, and 7.4 mg tocopherol per 100 g. Substansi estrogenik termasuk komponen anti-tumor, m-sitosterol, dan juga dilaporkan mengandung pectinesterase. Asam amino daun termasuk 6.0 g arginine/16 g N, 2.1 histidine, 4.3 lysine, 1.9 tryptophane, 6.4 phenylalanine, 2.0 methionine, 4.9 threonine, 9.3 leucine, 6.3 isoleucine, dan 7.1 valine. Pada bagian biji mengandung 4.08 H2O, 38.4 g crude protein, 34.7% fatty oil, 16.4 g N free extract, 3.5 g fiber, dan 3.2 g ash. Minyak dari biji mengandung 9.3% palmitic, 7.4% stearic, 8.6% behenic, and 65.7% oleic acids dan juga dilaporkan mengandung Myristic dan lignoceric acids. Setelah dilakukan ekstraksi minyak, diperoleh kandungan 58.9% crude protein, 0.4% Cao, 1.1% P2O5 dan 0.8% K2O. Pterygospermin, sebagai komponen bactericidal dan fungicidal, yang diisolasi dari kelor memiliki LD50 injeksi subcutan pada mencit dan tikus dari 350 sampai 400 mg/kg berat badan. Bagian akar mengandung 2 alkaloids yaitu moringine dan moringinine. Moringinine berperan sebagai cardiac stimulant, menghasilkan peningkatan tekanan darah, berperan pada sympathetic nerve-endings dan juga pada otot polos pada semua bagian tubuh, dan menekan sympathetic motor fibers pada pembuluh darah hanya dalam dosis tinggi.
Tepung daun kelor varietas NTT jenis kelor hijau memiliki kandungan gizi lebih baik daripada jenis kelor merah, baik protein, lemak maupun  karbohidrat, tetapi kadar besinya lebih rendah. Bila dibandingkan dengan kandungan gizi daun kelor varitas Afrika, varietas NTT masih lebih rendah, meskipun kandungan proteinnya hampir sama. Berdasarkan hasil penelitian Fuglie (2000) tersebut dapat kita bandingkan dengan kandungan gizi potensial dari tepung daun kelor varietas NTT. Dari hasil pengujian kandungan gizi kelor jenis hijau dari varietas NTT yang mengandung 27,01% protein per 100 g tepung kering daun kelor, nampak bahwa potensi kelor varietas lokal NTT dapat disetarakan dengan kelor yang telah direkomendasikan pada hasil penelitian di Afrika. Hal ini berarti dari hasil penelitian pemberian tepung daun kelor varietas NTT pada model hewan KEP dapat dijadikan sebagai rekomendasi awal untuk eksplorasi lebih lanjut potensi nutrisional tepung daun kelor varietas NTT sebagai kandidat suplemen nutrisi untuk kasus malnutrisi.
Tingginya kandungan gizi daun kelor varietas NTT ternyata mampu meningkatkan status gizi tikus model KEP dengan ditandai peningkatan kadar parameter (indikator status gizi) yang dalam penelitian ini terdiri dari: prealbumin, albumin, transferin dan RBP. Hasil penelitian Fuglie (2000) pada komunitas masyarakat kurang gizi di Senegal, Afrika dengan terapi tepung daun kelor juga menunjukkan hasil yang signifikan terhadap status gizi individu. Penelitian Tshikaji (FAO, 2006) melaporkan bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi malnutrisi adalah dengan penggunaan kelor sebagai sumber diet tambahan, karena daun kelor memiliki kandungan protein lengkap (mengandung 9 asam amino esensial), kalsium, zat besi, kalium, magnesium, dan vitamin A, C, E serta B yang memiliki peran besar pada sistem imun. Data pada ibu dan bayi diberi diet dengan kelor, ibu mulai menghasilkan ASI cukup dan terjadi penambahan berat badan yang signifikan dalam waktu singkat pada bayi masyarakat pedesaan di Congo.
Prealbumin memiliki half-life 2-3 hari dan diketahui menjadi marker untuk status intake nutrient dalam jangka waktu pendek untuk segera mengetahui status gizi individu. Prealbumin bertindak sebagai protein transport untuk thyroxine dan protein carier untuk retinol binding protein (RBP) (Bahn, 2006). Sejumlah bukti klinis menunjukkan bahwa protein-energy malnutrition akan menurunkan kadar serum prealbumin sampai 50%  (Valerie, et al., 1998). Peningkatan kadar prealbumin pada tikus KEP didapatkan pada semua dosis pemberian tepung daun kelor. Pemberian dosis 180 mg / hari pada tikus KEP sudah menunjukkan peningkatan kadar prealbumin yang signifikan dibanding tikus KEP tanpa pemberian tepung daun kelor. Peningkatan tertinggi terjadi pada kelompok dosis 360 mg /hari dengan kadar prealbumin yang sama besar dengan tikus yang mendapat pakan normal.
Albumin memiliki half life yang cukup panjang (14-20 hari), sehingga dapat menjadi indikator status nutrisi kronik. Fungsi albumin yang utama sebagai protein carier dan membantu untuk menjaga tekanan onkotik (Bahn, 2006). Peningkatan kadar albumin hanya terjadi pada kelompok dosis 180 mg / hari dan 360 mg / hari. Sedangkan pada pemberian dosis 720 mg /hari maupun 1440 mg / hari terjadi penurunan kadar albumin yang sama dengan kondisi KEP tanpa pemberian tepung daun kelor. Hal ini mungkin disebabkan dosis tepung daun kelor yang tinggi membebani kerja hepar dalam mensintesis albumin.
Transferin yang memiliki half-life 8-10 hari juga dijadikan marker potensial untuk menentukan status gizi individu. Kadar transferin darah dipengaruhi oleh beban transport zat besi dan status zat besi individu. Defisiensi zat besi dapat menyebabkan peningkatan kadar transferin untuk meningkatkan absorbsi zat besi dan sering digunakan sebagai metode tak langsung untuk menentukan kapasitas total pengikatan zat besi (Bahn, 2006). Peningkatan kadar transferin darah meningkat pada semua kelompok dengan pemberian tepung daun kelor, tetapi pada pemberian dosis diatas 360 mg/hari terjadi sedikit penurunan kadar transferin hal ini mungkin disebabkan kadar besi yang terkandung pada tepung daun kelor varitas NTT cukup tinggi.
RBP (Retinol Binding Protein) dengan half-life 12 jam juga memiliki peran sebagai indikator potensial untuk status nutrisi. RBP dijumpai sebagai retinol-circulating complex yang termasuk prealbumin, retinol, dan RBP. RBP dikatabolisme di ginjal dan meningkat pada kondisi gagal ginjal. RBP tergantung pada level normal dari vitamin A dan Zinc (Zn), dan kadar rendah nutrient vitamin A dan Zn menghambat mobilisasi dari RBP di hati (Bahn, 2006). Pada penelitian ini didapatkan peningkatan kadar RBP pada keempat kelompok tikus KEP yang diberi tepung daun kelor, hal ini menandakan tepung daun kelor varitas NTT banyak mengandung vitamin A yang sangat diperlukan bagi keadaan dengan kurang energi protein , sehingga mampu menginduksi sintesa RBP.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa tepung daun kelor dari varietas NTT memiliki potensi yang besar untuk dijadikan kandidat bahan suplementasi pada kasus gizi kurang maupun gizi buruk. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini dimana pada rentangan dosis 180-360 mg/hari pemberian tepung daun kelor dari varietas NTT pada jenis hijau mampu menaikkan kadar prealbumin, albumin, transferin dan Retinol Binding Protein (RBP). Pada kasus malnutrisi seperti pada kwashiorkor defisiensi protein akan menurunkan kualitas hidup individu dengan efek penurunan sistem imun, berat badan, dsb. Dari hasil penelitian ini pula memberikan gambaran awal bahwa tepung daun kelor dari varietas NTT memiliki kapabilitas poten untuk melakukan recovery terhadap beberapa indikator status gizi potensial. Hasil tersebut terlihat jelas pada kelompok perlakuan setelah tikus wistar diperlakukan dengan diet kurang energi protein (KEP) diikuti pemberian suplemen tepung daun kelor, ternyata kadar dari beberapa indikator tersebut naik kembali dan pada rentang dosis 180-360 mg/hari mampu mencapai rentangan kadar normal untuk masing-masing indikator tersebut setelah pemberian dosis 360 mg / hari.
Peningkatan indikator gizi pada tikus model KEP yang mencapai maksimal pada dosis 360 mg / hari merupakan salah satu fenomena farmakologis bahwa efek pemberian obat (dalam hal ini suplemen tepung daun kelor) membentuk kurva sigmoid mempunyai batas maksimal. Berdasarkan fakta-fakta hasil penelitian secara in vivo di atas namapak bahwa sedikit upaya untuk mendukung upaya reborn of the earth melalui pemberdayaan ekokonservasi lahan kritis di di daerah kurang produktif sangat membantu mencegah kerusakan lebih lanjut di bumi dengan lebih memaksimalkan lahan tidur untuk kepentingan umat manusia. Khususnya upaya awal pencarian solusi terhadap kasus rawan pangan di Indonesia khususnya dan di seluruh dunia secara umum.


DAFTAR PUSTAKA

Duke. A. J.  1983. Handbook of Energy Crops. unpublished.

Fahey, Jed W.,2005. Moringa Oleifera: A Review of the Medical Evidence for Its Nutritional, Therapeutic, and Prophylactic Properties, Part 1. Johns Hopkins School of Medicine, Department of Pharmacology and Molecular Sciences. Article published online at: Trees for Life Journal; www.TFLJournal.org

Fuglie, Lowell J., L’Arbre de la Vie : Les Multiples Usages du Moringa (2002) ; Church World Service, 475 Riverside Drive, New York, NY 10115

Fuglie, L.J. 2001. Combating Malnutrition with Moringa. Senegal: Bureau Regional Afrika

Fuglie, Lowell. 2000. The Miracle Tree. Dakar Senegal.

Garrity, D., Okono A., Grayson M., Parrott S., World Agro forestry into the Future, 2006, World Agro forestry Centre; Nairobi

Holst, Sanford. 2000. Moringa, Nature's Medicine Cabinet. Sierra Sunrise Books.

Marcu, Monica 2005, Miracle Tree; KOS Health Publications, La Canada CA

Olson, 1985. Mark Moringa Nature Medicine. Missouri Botanical Garden in St. Louis.

Price, Martin. 1985. The Moringa Tree. Missouri Botanical Garden in St. Lou

Protocole National de Prise en Charge de la Malnutrition Aigue, (2002) Ministère de la Santé, Programme National de Nutrition ; Kinshasa République Démocratique du Congo

UNICEF, The State of the World’s Children 2007, www.unicef.org/sowc07/statistics/statistics.php
United Nations Food and Agricultural Organization (FAO), 2006 Food Security Statistics-Democratic Republic of the Congo, www.fao.org/faostat/foodsecurity

 

Valerie, D.,  Ejvind Budtz-Jorgensen, Mojon, P., Andre Bruyere, ,and Charles-Henri Rapin. 1998. Association between malnutrition, poor general health and oral dryness in hospitalized elderly patients. Age and Ageing,


Winterbourn, C.C., 1991.  Free Radical Biology Of Iron. In: Dreosti, I. E., ed. Trace Elements, Micronutrients, and Free Radicals.  New Jersey: Humana Press, pp. 52-74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar